Sejauh mata memandang “through the case about Corporation and Crime in it, maka penulis menyampaikan tahapan – tahapan pada pendekatan yang digunakan agar disepakati dan sesuai dengan metode yang seadilnya dibuat pada ketentuan sebelumnya karena dalam asas legalitas ( Due Process of Law ) dinyatakan bahwa terhadap setiap penanganan permasalahan harus menggunakan ketentuan yang semestinya, terkecuali dalam ketentuan tersebut terdapat unsur pengecualiannya ( opsional ).
I. Pengurus koperasi sebagai pendiri maka pengurus yang bertanggungjawab.
Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha – usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perseorangan (Naturlijk Person). Sehinga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Sistem ini membedakan tugas mengurus dari pengurus.
Perkembangan terkini mengenai konsep korporasi sebagai subyek tindak pidana yang pada awalnya belum dapat diterima secara logika karena menurut teori fuksi Von Savigny yang megatakan korporasi sebagai subyek hukum tidak dapat diakui dalam hukum pidana karena pada waktu itu Pemerintah Belanda tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata kedalam hukum pidana. Berbeda pula dengan anggapan ketentuan bahwa tindak pidana hanya dilakukan oleh manusia adalah pasal 51 WvS Belanda atau pasal 59 KUHP yang berbunyi dalam hal dimana karena pelanggaran (Buku II) ditentukan pidana terhadap pengurus atau komisaris yag ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak pidana.
Pada abad XIX pandangan dalam hukum pidana selalu disyaratkan ssebagai kesalahan dengan sifat individual terlebih dipengaruh oleh asas societas delinquere non potest / universitas delinquere non potest (badan – badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana atau disisi lain sejarah revolusi Prancis mengatur mengenai pertanggungjawaban secara kolektif dan suatu kota “gilden” (kumpulan tukang-tukang ahli) sehingga muncul keraguan terhadap asas tersebut. Konsekuensi tidak diaturnya korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam buku I KUHP (Lex Generalis) diaktualisasikan mengenai pengaturannya dalam Undang – Undang diluar KUHP sehigga sifatnya khusus (Lex Spesialis).
II. Korporasi sebagai pembuat maka pengurus yang bertanggungjawab.
Sistem pertanggungjawaban korporasi yang kedua yang diatur dengan pengaturan yang timbul dalam peraturan perundang – undangan bahwa suatau tindak pidana dapat dilaksanakan oleh perserikatan 1653 KUHPer atau badan usaha (Korporasi), Akan tetapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi) tersebut. Secara perlahan - lahantenggunngjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin korporasi secara sesungguhnya. Dalam sistem pertanggungjawaban ini, korporasi dapat menjadi pembuat tindak pidana, akan tetapi yang bertanggungjawab adalah para pengurus, asalkan saja dinyatakan secara tegas dalam aturan itu. Memuat ketentuan pemahaman diatas masih dipandang belum cukup pertanggungjawabannya.
Jika memperhatikan sedikit mengenai wilayah hukum (badan hukum yang lebih luas) maka dapat kita contoh dari hukum tata negara yaitu asas praduga rechmatig atau anggapan bahwa setiap tindakan atau perbuatan dari penyelenggara negara selalu dipandang benar. Pada fokus inilah yang harus dibedakan apakah karena struktur korporasi yang dijabat oleh individu ataukah karena fungsional individu itu sendiri melakukan tindak pidana dalam wilayah korporasi sehingga pertanggungjawaban seluruhnya sebagai akibat dari aktifitas korporasi tersebutlah yang menyebabkannya, contoh Undang – Undang yang mengandung sistem kedua ini adalah sebagai berikut :
a. UU No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuha, pasal 37 ayat 1 berbunyi : “ jika sesuatu hal yang diancam dengan hukuman dalam Undang – Undang ini dilakukan oleh badan hukum atau perusahaan, maka tuntutan ditujukan atau hukuman dijatuhi terhadap pengurus atau pemimpin badan hukum atau perserikatan ini.
b. UU No. 88 Tahun 1960 tentang penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman tertentu, pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa tanggungjawab pidana dibebankan kepada mereka yang memberikan perintah dan /atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin.
c. UU No. 2 Tahun 1981 tentang Meteorologi Legal, pasal 54 “ suatu perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang berdasarkan UU ini diancam hukuman apabila dilakukan oleh suatu badan usaha , maka hukuman atas tuntutan ditujukan kepada : a) pengurus, apabila berbentuk badan hukum, b) sekutu aktif, apabila berbentuk persekutuan atau perkumpulan orang – orang, c) pengurus, apabila berbentuk yayasan, d) wakil atau kuasanya di Indonesia apabila kantor pusatnya berada diluar Indonesia.
d. UU No. 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan pasal 35 mengakui korporasi sebagai pelaku tindak pidana, namun pertanggunngjawaban pidana tetap dibebankan kepada pengurus korporasi atau pemegang kuasa dari badan hukum itu.
III. Korporasi sebagai pembuat dan bertanggungjawab.
Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini yang merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari korporasi, sebagai contoh langsung dari pemikiran ketiga ini :
a. Pasal 15 UU No. 7 Tahun 1955 (Drt) tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, pasal 15 ayat 1 berbunyi : jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana dan tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi jaminan melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua – duanya.
b. Pasal 38 UU No. 3 Tahun 1989 tentang Telekominikasi.
c. Pasal 24 UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
d. Pasal 61 UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai
e. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
f. Pasal 20 UU No.31 Tahun 1991 – UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perumusan yang agak berbeda terdapat dalam beberapa Undang – Undang dibawah ini :
a. UU No. 5 / 1997 tentang Psikotropika & UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi langsung dirumuskan dalam ketentuan – ketentuan pidananya, misalnya pasal 75 ayat 4 UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika berbunyi “apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh korporasi dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 ( lima milyyar rupiah )
b. Pasal 61 UU No. 8 / 1998 tentang perlindungan konsumen mengatakan, penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha / pengurusnya. Sedangkan pengertian pelaku usaha menurut pasal 1 butir 3 Undang – Undang tersebut adalah setiap orang secara perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Contoh lainnya “seorang setan komputer / hijack (Belanda), melakukan pembajakan terhadap seseorang bernama Kevin Munick yang dituduh menelan milyaran dolar US dengan cara bereksperimen mengakses “nonathorized service and computers”. Penyebabnya karena adanya jaringan internet yang memungkinkan seseorang dengan jarak yang sangat jauh dapat mengakses server ( komputer ) yang merupakan bukan haknya. Sulit untuk melacak sistem komputer / hijack ini karena sangat dibutuhkan keahlian tertentu melalui kordinasi dan prosedur yang rumit antar negara. Juga diketahui bahwa awal tahun 2003, situs – situs besar di Amerika seperti Amanzon.com.corp, Yahoo !.Inc, pernah mengalami kerugian yang tidak sedikit dari perbuatan hijack tersebut, hal ini tentu saja melanggar ketetuan dari sistem Common Law di negara tersebut. Contoh lain yang dapat diperhatikan disini yaitu seperti misalanya dalam ketentuan pengguanaan aplikasi berbasis website pada link atau situs wikipedia yang merupakan merek dagang dari Wikimedia Foundation. Inc. Abaila kita ingin melakukan kontribusi seperti artikel maka ada beberapa yang dapat terlebih dahulu kita ketahui (seperti Terms of Submit Article) akan tetapi prinsip awalnya yaitu harus mempunyai akun Wikipedia dan yang paling pokok dari hal ini yaitu bahwa penggunaan akun ini semata untuk kegiatan edukasi dan informasi dan bukan untuk kegiatan promosi diri, reklame, dan sejenisnya. Apabila melangarnya maka secara otomatis sistem akan memblokirnya dan mengenakan sanksi sebagaimana yang berlaku di negara yang menganut sistem Common.
Kasus Karla Homolka di Kanada yang sedang disidangkan dan informasi larangan publikasi : “ Mengutip kebutuhan untuk melindungi hak Bernardo atas pengadilan yang adil , larangan publikasi diberlakukan atas penyelidikan awal Homolka. Mahkota telah mengajukan permohonan larangan yang diberlakukan pada tanggal 5 Juli 1993, oleh Tuan Hakim Francis Kovacs dari Pengadilan Ontario (Divisi Umum). Homolka, melalui pengacaranya, mendukung larangan tersebut, sedangkan pengacara Bernardo berpendapat bahwa ia akan dibenci oleh larangan tersebut karena Homolka sebelumnya telah digambarkan sebagai korbannya. Empat outlet media dan satu penulis juga menentang aplikasi tersebut. Beberapa pengacara berpendapat bahwa rumor bisa lebih merusak proses persidangan di masa depan daripada publikasi bukti yang sebenarnya. Akan tetapi, akses publik ke Internet secara efektif membatalkan perintah pengadilan; seperti halnya kedekatan dengan perbatasan Kanada-AS , karena larangan publikasi oleh Pengadilan Ontario tidak dapat diterapkan di New York, Michigan, atau di mana pun di luar Ontario. Wartawan Amerika mengutip Amandemen Pertama dalam editorial dan menerbitkan rincian kesaksian Homolka, yang didistribusikan secara luas oleh banyak sumber Internet, terutama di alt.fan.karla-homolka Usenet newsgroup. Informasi dan rumor menyebar ke berbagai jaringan elektronik yang tersedia bagi siapa saja di Kanada dengan komputer dan modem. Selain itu, banyak rumor internet melampaui rincian kasus yang diketahui. Surat kabar di Buffalo , Detroit , Washington , New York City dan bahkan Inggris, bersama dengan stasiun radio dan televisi perbatasan, melaporkan rincian yang diperoleh dari sumber di persidangan Homolka. Seri sindikasi A Current Affair menyiarkan dua program kejahatan. Orang-orang Kanada membuat salinan The Buffalo Evening News di seberang perbatasan, mendorong perintah kepada Kantor Polisi Regional Niagara untuk menangkap semua orang yang memiliki lebih dari satu salinan di perbatasan. Salinan tambahan disita. Salinan surat kabar lain, termasuk The New York Times , dikembalikan ke perbatasan atau tidak diterima oleh distributor di Ontario. Gordon Domm, seorang pensiunan polisi yang menentang larangan publikasi dengan mendistribusikan rincian dari media asing, didakwa dan dihukum karena melanggar perintah pengadilan yang sah”. Hal yang lebh parah lagi, banyak server yang menyajikan informasi cara membuat Bom Molotov, teknologi terorisme, pornografi, dan bentuk perbuatan lain yang dapat dianggap ilegal. Meskipun secara yurisdiksi Kriminologi misalnya masih harus dipertanyakan, ilegal menurut hukum mana ? seuatu yang ilegal di Indonesia belumtentu ilegal di Australia.
Dari beberapa penelaahan terhadap literatur tentang korporasi saat ini menjadi subyek tindak pidana apabila dilihat dari literatur kriminologi, seperti misalnya kriminologi administrasi dalam pemerintahan dapat diketahui melalui pendekatan hakikat kriminiologi manusia, hakikat kriminologi pemeerintahan,, kriminologi adminastasi, penyebab terjadinya kriminologi (kemiskinan, kebodohan, pergaulan, tempat tinggal, tekanan kehidupan, tekanan sosial, tekanan keluarga, tekanan ekonomi). Kerja sama manusia dalam kriminologi atau bisa dikaitkan dengan ketentuan bahwa jenis crime for corporation, pemikiran manusia dalam kriminologi, tindakan manusia dalam krimminologi, pencegahan kriminologi dalam pemerintahan (upaya Penal dan Non Penal).
Peter A. French seorang pakar etika bisnis mengusulkan ancama publisitas suatu metode menghukum secara kolektif orang – orang yang berada dibawah naungan korporasi dan berperilaku menyimpang ( corporate-collective wrongdoing . Metode ini dianamakan Hester Prynee Sanction, yakni mengganjar orang yang melakukan kejahatan korporasi dengan memanfaatkan efek negatif yang dihasilkan oelh pemberitaan yang intens tentang perilaku yang menyimpang dari korporasi dimaksudkan sesuatu dengan motif permasalahannya. Melalui cara ini, kelompok kolektif di dalam korporasi yang diasumsikan memiliki jiwa bersama ( group mind ) akan merasa malu dan kehilangan harga diri.
II. Kesimpulan
Kejahatan korporasi atau organized crime (kejahatan terorganisir) adalah sebuah delik pidana baru yang terus dikampanyekan dan mulai di dorong untuk dipraktekan dalam hukum acara terbarukan sesuai perkembangan hukum nasional dan internasional dalam kebutuhannya.menjadi temuan hukum falam prakteknya jika berbicara mengenai temuan hukum atau rechtvindingyang bisa dipahami dengan latar belakang kebutuhan dalam badan hukum atau organisasi tersebut dalam perkembagannya. Pemahaman tentang tipe kejahatan seperti ini memenuhi unsur – unsur dari sesuatu ayang dikategorikan sebagai kejahatan karena terdapat pengurus yang merupakan naturlijkpersoon di dalam badan hukum atau oraganisasi tersebut.
Kajian mengenai ini merupakan titik temu yang paling penting dalam menanggulangi segala kecenderungan yang sangat sering terjadi dalam praktek korporasi dan beberapa sistem yang terbentuk di dalamnya. Penulis meyakini setiap kejadian yang mengandung delik pidana dalam praktek korporsi yang dituntut untuk menyesuaikan perkembangan zaman (Ilmu pengetahuan dan teknologi) multi sektor inilah yang kemudian akan menjadi tantangan bagi Pemerintah, akademisi, praktisi, dan peneliti untuk terus memberikan perhatian agar tidak terkena sanksi seperti yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan, dan unutuk meminimalkan usaha penal / litigasi yang tidak cukup ekonomis apabila dihadapi.
Kerentanan berikutnya yaitu mengenai harapan penulis agar doktrin yang merupakan salah satu sumber hukum yang dipercara dalam sistem hukum di Indonesia ini sifatnya sebagai preventif bagi pihak penegak hukum ini bukanlah sesuatu yang sifatnya hanya berupa rambu-rambu, akan tetapi dapat bersifat Ius Constitutum. Akhir kata penulis mengharapkan saran dan rekomendasi lanjutan dari para pembaca, selanjutnya penulis membuat fiksi hukum “ if you follow the system you automatically obey to follow the rule of law”.
Diselesaikan di
Kupang, 15 Mei 2019
Diperbarui di
Surabaya, 23 Juni 2020
Refference :
1. Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH.,MS, Reformasi Yayasan (Perspektif Hukum & Manajemen), Jogyakarta & Jakarta, 2002.
2. Prof. Dr. H. Ahmad M. Ramli, SH.,MH, Cyber Law dan HAKI (dalam Sistem hukum Indonesia) Bandung, Oktober 2004.
3. Dr. H. Setyono SH.,M.H Kejahatan Korporasi ( analisis Viktimologi dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana di Indonesia ), Malang 2005.